I Gusti Ayu Septiari

Dilihat dari perbandingan satelit Google Earth tahun 2015 dan tahun 2020, lahan hijau di Bali semakin berkurang. Sementara, bangunan semakin bertambah, ditunjukkan dengan semakin luasnya warna kuning pada satelit. Perubahan tersebut terjadi dalam jangka waktu lima tahun.

Rata-rata luas lahan yang dikuasai rumah tangga usaha pertanian menurut jenis lahan (m2). Sumber: Potensi Pertanian Provinsi Bali Menuju Pertanian Berkelanjutan, BPS Provinsi Bali

Dilansir dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali, rata-rata luas lahan pertanian pada tahun 2023 yang dikuasai oleh rumah tangga usaha pertanian mengalami penurunan dibandingkan dengan 2013. Lahan pertanian baik sawah maupun bukan sawah yang dikuasai mengalami penurunan masing-masing sebanyak 19,30% dan 14,27% selama satu dekade terakhir.

Jumlah pekerja pada lapangan usaha pertanian menurut kelompok umur di Provinsi Bali (jiwa). Sumber: Potensi Pertanian Provinsi Bali Menuju Pertanian Berkelanjutan, BPS Provinsi Bali

Lahan pertanian yang semakin sempit diiringi dengan penurunan jumlah tenaga kerja sektor pertanian. Data BPS Provinsi Bali juga menunjukkan jumlah pekerja pada lapangan usaha pertanian didominasi oleh usia > 55 tahun, yaitu sebanyak 189.966 jiwa pada tahun 2013 dan mengalami peningkatan pada tahun 2023 sebanyak 206.630 jiwa. Sementara itu petani usia muda mengalami penurunan. Petani usia 25-34 tahun pada tahun 2013 sebanyak 81.696 jiwa, sedangkan pada tahun 2023 mengalami penurunan menjadi 54.405 jiwa.

Bertani untuk kebutuhan finansial

“Pertanian ini kalau memang tahu peluangnya, memang profitnya paling gede,” begitu kata I Wayan Suamba, petani muda usia 32 tahun di Desa Kerta, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar. Suamba telah bertani sejak tahun 2015 untuk memenuhi kebutuhan finansialnya. Beragam jenis pertanian ia tekuni, mulai dari bibit sayur, bunga hias, hingga edible flower.

Keinginan Suamba bertani tumbuh sejak lulus SMA. Ia mengambil gelar sarjana pertanian di Universitas Udayana dan melanjutkan pendidikan S2 di jurusan yang sama. Selama 10 tahun menjadi petani, ia mampu meningkatkan ekonomi keluarganya, mulai dari membeli kendaraan, renovasi rumah, hingga membeli lahan baru. 

“Kemarin sempat tak hitung-hitung berapa sih dari dulu tertimbun uangnya buat bangunan, buat beli kendaraan. Kurang lebih sekitar Rp1,5 miliar lah,” ujar Suamba ketika ditemui di kediamannya.

Sama seperti Suamba, petani muda asal Desa Kuwum, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Ni Ketut Marianti, juga ketagihan bertani setelah mencicipi keuntungan dari hasil bertani. 

Marianti sempat berprofesi menjadi pramusaji dan mengikuti pelatihan spa untuk berangkat ke Turki. Setelah satu bulan menjalani pelatihan dan siap untuk berangkat ke Turki, berita buruk menghampiri Marianti. “Ube kel berangkat to emek saya gelem jantung (Sudah mau berangkat itu ibu saya ternyata sakit jantung),” ungkap Marianti ketika ditemui di kediamannya.

Kabar tersebut membuat kebingungan melanda keluarga Marianti. Pasalnya, jika ibunya sakit, lahan sawah yang telah disewa dari tetangga tidak ada yang mengisi. “Emek e kan ube sing ngidang ke carik (Ibu saya kan udah nggak boleh ke sawah),” ujar Marianti.

Marianti pun mengalah dan memutuskan untuk batal berangkat ke Turki. Kurang lebih sudah tiga tahun Marianti mengambil alih usaha pertanian ibunya. Pertanian yang ditekuninya adalah bunga untuk upacara keagamaan, seperti bunga pacar, bunga gemitir, dan bunga ratna. Marianti juga mengelola peternakan babi ‘kecil-kecilan’, begitu ia sebut.

Kesehariannya berulang-ulang. Pagi ke sawah untuk memetik bunga dan merawat lahan miliknya. Kemudian, siang ia harus pergi ke pasar untuk menjual hasil pertanian. Sore ia harus ke sawah lagi untuk panen dan dijual lagi keesokan harinya. Di malam hari Marianti tidak istirahat, ia harus membantu kakaknya membuat banten untuk dijual di pasar.

Jika dibandingkan dengan pekerjaannya terdahulu, Marianti lebih memilih usaha pertanian karena menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Begitu pula jika ia memutuskan untuk ke Turki. Selama tiga tahun, penghasilan Marianti cukup untuk membiayai kebutuhan hidupnya. Ia bahkan sudah berhasil membeli beberapa barang, mulai dari smartphone hingga kendaraan pribadi.

Belajar bertani hingga ke Jepang

Berbeda dengan pertanian konvensional di Indonesia, Jepang merupakan salah satu negara di Asia yang memanfaatkan teknologi sebagai alat bantu sektor pertanian. Artikel BBC Indonesia berjudul Jepang: Merevolusi Pertanian Tanpa Lahan dan Petani Menggunakan Sains dan Teknologi menunjukkan pemanfaatan teknologi yang digunakan Jepang dalam mengatasi kekurangan pangan dan tenaga kerja.

Berkembangnya sistem teknologi pertanian di Jepang menarik anak muda belajar bertani di Negeri Sakura tersebut. Suamba adalah salah satunya. Selama kuliah S2, ia mendapatkan kesempatan mengikuti pertukaran pelajar ke Chiba University. Ia mengakui teknologi pertanian di Jepang susah diaplikasikan di Indonesia. Meski begitu, ada beberapa hal yang ia dapatkan di sana.

“Kalau di Jepang kita mengintip desain-desain kayak greenhouse-nya. Di sana kan pakai baja biasanya (kerangka greenhouse), pakai kerang-kerangka yang permanen. Kalau kita modif di sini pakai bahan-bahan yang seadanya lah pakai bambu, pakai kayu, tapi bentuknya kita adopsi dari sana,” ungkap Suamba. Metode ini pun tengah Suamba terapkan pada usaha pertanian miliknya. Selain lahan di belakang rumahnya, kini ia tengah membangun greenhouse tak jauh dari rumahnya.

Berbeda dengan Suamba, Luh Tu Sugiara yang dulunya berprofesi sebagai jurnalis di Bali kini bekerja sebagai peternak sapi perah di Jepang. Sampai saat ini terhitung sudah dua tahun Sugiara bekerja di Jepang. Namun, ia mengungkapkan keinginannya untuk kembali ke Bali suatu hari nanti. 

Peternakan sapi di Jepang sangat modern, misalnya pemeriksaan kondisi sapi melalui komputer, pemerahan yang sangat steril, hingga pemberian pakan dengan alat besar. Sugiara menyebutkan pekerja di sana sangat jarang memakai tangan secara langsung untuk bekerja, lebih banyak menggunakan alat.

Meski nantinya di Bali teknologi peternakan di Jepang tidak dapat digunakan sepenuhnya, ia ingin mencoba untuk melanjutkan karirnya sebagai peternak. “Saya punya gambaran bahwa nanti kayaknya saya mau buat peternakan susu kambing deh,” ungkap Sugiara. Hal tersebut terbesit ketika mengetahui tidak ada pasokan susu kambing dari Bali. “Saya harus banyak belajar dulu di sini (Jepang),” ujar Sugiara. 

Bertani untuk memenuhi kebutuhan pangan

Dilansir dari WRI Indonesia, laporan neraca bahan makanan yang dikeluarkan oleh Badan Pangan Nasional pada tahun 2018-2020 menyebutkan belum semua pangan strategis Indonesia dapat dipenuhi oleh produksi domestik. Sejumlah pangan utama masih dipenuhi dari impor, seperti kedelai (80-90% impor), gula pasir (65-70% impor), bawang putih (90-95% impor), dan daging sapi (25-30% impor).

Data di atas adalah data ketergantungan Indonesia terhadap pangan impor. Belum ada data ketergantungan pangan apa saja di Bali secara detail. Meski begitu, dapat dipastikan lahan pertanian di Bali semakin menyempit jika melihat gambar satelit di awal.

Bertani Meramban

Di tengah fenomena ini, pertanian dengan bentuk meramban menjadi pilihan yang tepat. Made Masak, seorang konsultan makanan menekuni pertanian ini.

Meramban merupakan pemanfaatan tumbuhan liar sebagai bahan pangan dalam kehidupan sehari-hari. Pertanian ini tidak memerlukan lahan yang luas seperti pertanian yang ditekuni Marianti dan Suamba, cukup dengan kebun kecil di sekitar rumah. Perawatannya pun tidak perlu pupuk dan pestisida karena jenisnya adalah tanaman liar yang tidak memerlukan perawatan.

Made Masak tidak menekuni pertanian ini sendiri. Ia bergabung bersama sejumlah petani perempuan di Bali dalam Bibit Pusaka Bali, slow food community yang mengembangkan dan melestarikan benih lokal Bali untuk kebutuhan pangan dan upacara. 

Salah satu pengurus Bibit Pusaka Bali, Sayu Komang, menyebutkan bahwa keanggotaan Bibit Pusaka saat ini berjumlah 40 orang. “Jadi memang kita sangat fokus di perempuan awalnya. Bibit Pusaka ini kita kembangkan untuk bagaimana perempuan di Bali itu bisa memimpin penyelamatan local food di Bali,” ungkap Sayu.

Sayu melihat bahwa komunitas petani lokal saat ini sangat fluktuatif. Bukan hanya tentang harga, tetapi juga minat masyarakat untuk mengembangkan atau membudidayakan. “Jadi banyak petani latah,” ujar Sayu. Misalnya, ketika ada satu komoditas yang mahal, mereka akan beramai-ramai menanam komoditas tersebut, sehingga harga akan anjlok ketika panen raya.

“Akhirnya banyak komoditas yang ketika demand tinggi, ketika permintaan tinggi, supply-nya sangat rendah di petani. Tetapi ketika demand-nya rendah malah di lapangan atau pertanian sangat banyak,” terang Sayu.

Sayu juga menyebutkan bahwa petani Bali tidak memiliki kemampuan untuk mengolah, sehingga pengolahan lebih banyak di pihak ketiga. Hasilnya, petani hanya akan menerima hasil yang rendah. Kondisi ini yang membuat Sayu mengenalkan kebun pangan keluarga kepada masyarakat. Kebun pangan ini memungkinkan masyarakat melakukan pertanian skala kecil yang setidaknya dapat memenuhi kebutuhan keluarga.

“Jadi, paling tidak ada bumbu untuk sehari-hari, kemudian jenis-jenis sayuran yang sebenarnya cukup mudah untuk ditanam. Jenis-jenis tanaman lokal dan tanaman kampung yang sebenarnya dulu nenek moyang kita banyak olah,” ujar Sayu.

Hal serupa dilakukan oleh Made Masak. Bedanya, Made Masak juga mengenalkan tanaman meramban tersebut kepada industri pariwisata. Ketika membuat sebuah menu, bahan yang ia gunakan sebanyak mungkin berasal dari pangan lokal. 

Made Masak juga melakukan edukasi foraging (meramban) berupa perilaku memasak apa yang kita panen. “Jadi dengan otomatis perilaku petani pun juga ingin menyajikan apa yang ada di lahan mereka,” ujar Made Masak.

Menurut Made Masak, harus ada sebuah perubahan dari pertanian di Bali. Perubahan melihat lahan sebagai komunitas, bukan komoditas. Melihat lahan sebagai komunitas artinya melihat mereka sebagai bagian dari kehidupan, sehingga masyarakat akan lebih menghargai lahan tersebut. Sementara, ketika lahan dilihat sebagai komoditi, masyarakat akan terus memicu lahan tersebut untuk bekerja dan menghasilkan.

Melihat lahan sebagai komunitas dengan pertanian meramban akan mengurangi kekhawatiran masyarakat, khususnya petani terhadap kekurangan pangan di masa depan. Petani akan merasa lebih aman karena pasokan pangan di rumahnya selalu tersedia. Tanaman meramban pun dapat dikembangkan di industri pariwisata, sehingga mendorong petani lokal memasok bahan pangan yang lebih beragam.

Secercah harapan muncul untuk masa depan pertanian Bali. Meramban adalah salah satu cara mengakali pasokan pangan lokal yang semakin sedikit, sehingga dapat mengurangi impor pangan dari daerah atau negara lain.